kepada kakakku
Seperti biasa, kau memancarkan suram. Sisa kekesalan semalam. Aku memandangmu dari kejauhan. Sama sepertimu. Seperti angin, riuhmu menghujamku dengan pikiran-pikiran tentangku. Tentang kau, tentang kita!
Sungguh, sesekali tak pernah kupahami dirimu dan mimpi-mimpi kecilmu. Dunia ini terlampau sulit dimengerti. Sementara kita, berjalan bersama, menempuh jalan yang berbeda. Dengan pemikiran yang berbeda, dengan pemahaman yang berbeda, dengan hal-hal yang berbeda
Berbagai persoalan terlalu mudah kau selami. Menjejali setiap mimpi-mimpi malammu. Kau begitu larut hingga air mata tak lagi berarti. Senyummu terlampau perih. Pertikaian memuncak, hingga kau bisikkan; aku menyayangimu!
Aku mengerti itu meski tak sempat terucap. Aku bisa merasakannya, sebuah isyarat kau tulus. Adakah yang lebih memahaminya selain kau, aku, dan mereka yang menjadi cinta buatmu?
Hari ini, kembali aku mengenangmu. 23 tahun setelah hari itu. Suatu waktu ketika kali pertama kita dipersatukan sejarah. Tentu, tak sepenuhnya aku memahami, juga mereka yang tak kan pernah menemukan dasar kedalaman hatimu.
Hari ini, (barangkali) kembali kau memancarkan suram, sisa kekesalan semalam. Aku di sini, hanya bisa memandangmu dari kejauhan. Sama sepertimu. Doa-doa telah terucap. Menggema lalu mendadak senyap. Di jeda waktu itu, ijinkan aku mengucapkan; aku menyayangimu. Meski hanya lewat kalimat usang yang mengantar mimpi-mimpimu.
Seperti biasa, kau memancarkan suram. Sisa kekesalan semalam. Aku memandangmu dari kejauhan. Sama sepertimu. Seperti angin, riuhmu menghujamku dengan pikiran-pikiran tentangku. Tentang kau, tentang kita!
Sungguh, sesekali tak pernah kupahami dirimu dan mimpi-mimpi kecilmu. Dunia ini terlampau sulit dimengerti. Sementara kita, berjalan bersama, menempuh jalan yang berbeda. Dengan pemikiran yang berbeda, dengan pemahaman yang berbeda, dengan hal-hal yang berbeda
Berbagai persoalan terlalu mudah kau selami. Menjejali setiap mimpi-mimpi malammu. Kau begitu larut hingga air mata tak lagi berarti. Senyummu terlampau perih. Pertikaian memuncak, hingga kau bisikkan; aku menyayangimu!
Aku mengerti itu meski tak sempat terucap. Aku bisa merasakannya, sebuah isyarat kau tulus. Adakah yang lebih memahaminya selain kau, aku, dan mereka yang menjadi cinta buatmu?
Hari ini, kembali aku mengenangmu. 23 tahun setelah hari itu. Suatu waktu ketika kali pertama kita dipersatukan sejarah. Tentu, tak sepenuhnya aku memahami, juga mereka yang tak kan pernah menemukan dasar kedalaman hatimu.
Hari ini, (barangkali) kembali kau memancarkan suram, sisa kekesalan semalam. Aku di sini, hanya bisa memandangmu dari kejauhan. Sama sepertimu. Doa-doa telah terucap. Menggema lalu mendadak senyap. Di jeda waktu itu, ijinkan aku mengucapkan; aku menyayangimu. Meski hanya lewat kalimat usang yang mengantar mimpi-mimpimu.
0 komentar:
Posting Komentar