Bali dalam Pigura

Sebagai salah satu kawasan wisata yang paling diminati dunia, Bali yang mulanya hidup berbasiskan pertanian mulai beralih ke industri pariwisiata, dengan “jualan” produk kesenian dan budayanya.

Berbicara tentang industri, maka kita akan terperangkap dengan angka-angka finansial yang dapat dihasilkannya. Inilah yang harus disadari. Selama ini, industri pariwisata di Bali dipandang sebagai mesin penghasil devisa bagi negara. Ironisnya lagi, masyarakat dibuat beranggapan bahwa industri pariwisata yang dijalankan merupakan ”dewa penolong” atas segala keterpurukan yang menimpa mereka.

Padahal sejatinya, dengan mengedepankan konsep pariwisata budaya, keberadaan pariwisata bagi Bali bukankah semata-mata berurusan dengan berapa banyak devisa yang dihasilkannya. Tetapi, lebih pada menjaga bangunan peradaban dan budaya Bali itu sendiri. Toh realitanya, industri pariwisata Bali belumlah juga mampu menciptakan kesejahteraan yang merata bagi masyarakatnya.

Miris rasanya melihat kenyataan-kenyataan getir seperti itu. Sekarang, begitu mudahnya kita menemukan seni budaya Bali dijadikan sebagai ”sajian penyambut” wisatawan. Dan ironisnya, sebagian besar seniman kita rupanya rela dan mengikhlaskan dirinya untuk diangkut dengan truk ketika akan pentas di suatu tempat.

Jika kita mau kembali ke masa lalu, bukankah para wisatawan yang berburu seni dan budaya itu? Bukan justru sebaliknya, kita yang menjajakannya untuk mereka yang berpotensi menghapus nilai-nilai kebudayaan itu sendiri!

Inilah yang harus dijaga. Kesenian dan kebudayaan bukanlah suatu komoditi yang dapat ”diperjual-belikan” kepada wisatawan. Kalau tidak, keberadaan Bali sebagai pesona pariwisata budaya dunia akan tinggal kenangan. Atau juga, Bali hanya akan berakhir pada sebuah pigura yang menyisakan kenangan-kenangan manis (atau getir?) atas pesona seni dan budayanya sendiri!

Tulisan asli bisa dilihat di sini

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ya, mungkin karena masyarakat Bali terlalu "ramah", heheeee...

Saya juga pernah mendengar kalau sekarang, baik di hotel, restoran, atau di tempat-tempat wisata lainnya, wisatawan (mancanegara) selalu dinomor satukan. Bagaimana dengan masyarakat lokal??!

Inilah yang perlu dikelola. Jangan sampai pariwisata Bali (khususnya pariwasata budaya) kehilangan ruhnya akibat terlalu "diperjual belikan"!!

Ada baiknya kita kembali ke Bali tempo dulu. Wisatawanlah yang berburu seni budaya Bali, bukan sebaliknya seperti yang terjadi saat ini. Para seniman diangkut truk ke hotel-hotel untuk menyajikan atraksi seni dan budayanya.

Biarlah Bali menjadi Bali yang dulu, tetapi bukan Ajeg Bali! Dalam artian, kita jangan menghambakan pariwisata meskipun sebagian besar masyarakat Bali bergantung hidup dari sana.

Jangan sampai di masa datang, Bali hanya berada dalam Pigura. Tetap indah dipandang meskipun ruh ke-Bali-annya telah musnah! Keunikan Bali hanya bisa dikenang saja..!!

Salam

Posting Komentar